Categories
Intermezzo

Inspirasi Gaya Riasan yang Sesuai dengan Karakter Wanita Indonesia

KOMPAS.com – Gaya riasan yang bold dan complexion yang sempurna ala makeup wanita Korea saat ini memang sedang disukai para pecinta kosmetik. Padahal, tidak semua wanita Indonesia cocok dengan gaya riasan tersebut.

Makeup Artist (MUA) Carolina Septerita memberikan inspirasi gaya riasan yang sesuai dengan karakter dan warna kulit wanita Indonesia. Carolina menggandeng 10 perempuan Indonesia yang memiliki karakter dan profesi berbeda dalam konsep riasan bertajuk Beauty Within Me.

Mereka adalah Kahiyang Ayu, Nadine Candrawinata, Marcella Zalianty, Sahila Hisyam, Nadila Ernesta, Ashfi Qamara, Rebeca Reijman, Dian Rasifah, Maria Kutu La Eva, dan Sahila Hisyam.

“Di saat merias, kita harus memperhatikan karakter diri sendiri, tipe kulit, dan warna kulit. Karena enggak semua gaya makeup itu bisa dipakai dan sesuai dengan mereka,” jelas MUA yang sudah berkecimplung di dunia kecantikan selama 25 tahun ini.

Dalam merias 10 karakter model tersebut, ia memilih gaya riasan hangat dan dingin dengan pilihan warna yang bisa mewakili kecantikan perempuan Indonesia. Gaya riasan hangat biasanya memiliki gaya riasan yang lebih lembut dan riasan bernuansa dingin sedikit lebih bold dengan warna berani.

Adapun warna yang dipilih di antaranya biru turquoise; hijau mint dan pink, merah bata; merah, orange, dan putih, ungu tua; metallic purple, copper; coral, silver, warna merah bata emas, dan hijau muda. Dari gaya riasan tersebut, Carolina ingin menyampaikan pesan kepada perempuan agar lebih percaya diri dalam menujukkan mengekspresikan karakter, terutama lewat makeup. “Karena makeup adalah salah satu cara perempuan untuk menghargai diri mereka yang sesungguhnya,” katanya.

Dok. foto : Carolina Septerita

sumber: https://lifestyle.kompas.com/read/2019/04/09/130000520/-inspirasi-gaya-riasan-yang-sesuai-dengan-karakter-wanita-indonesia.

Categories
Intermezzo

5 Tips Nyaman Naik MRT Jakarta

JAKARTA, KOMPAS.com – Sudah mencoba berkeliling Jakarta dengan mass rapid transit atau moda raya terpadu (MRT)?. Jika belum, segeralah mencoba. Namun sebelum memutuskan mencoba, simak tips-tips di bawah ini agar perjalanan Anda berkeliling Jakarta dengan MRT menjadi lebih nyaman.

Pilih stasiun terdekat

Ada sebanyak 13 stasiun yang membentang dari Bundaran HI hingga Lebak Bulus. Stasiun-stasiun itu antara lain Stasiun Lebak Bulus, Stasiun Fatmawati, Stasiun Cipete Raya, Stasiun Haji Nawi, Stasiun Blok A, Stasiun Blok M, Stasiun Sisingamangaraja, Stasiun Senayan, Stasiun Istora, Stasiun Bendungan Hilir, Stasiun Setiabudi, Stasiun Dukuh Atas, dan Stasiun Bundaran HI.

Sebelum memulai perjalanan pastikan memilih stasiun yang terdekat dari posisi Anda. Hal ini akan memudahkan akses Anda menuju stasiun. Tak hanya itu, pemilihan stasiun yang tepat juga akan berpengaruh pada tarif MRT yang Anda keluarkan.

Mengenai kartu jelajah

Untuk memulai perjalanan dengan MRT, Anda dapat menggunakan kartu uang elektronik yang dikeluarkan oleh bank, seperti e-Money Bank Mandiri, Brizzi oleh BRI, Tapcash oleh BNI, Flazz oleh BCA, dan Jakcard oleh Bank DKI. Anda juga dapat menggunakan kartu JakLingko.

Selain itu, MRT Jakarta juga mengeluarkan dua jenis tiket, yaitu Single Trip dan Multi Trip. Kartu MRT Jakarta yang diberi nama Jelajah, dapat dibeli di mesin penjual tiket dan loket yang tersedia di setiap stasiun. Meski demikian untuk saat ini, Anda hanya bisa membeli tiket Jelajah Single Trip karena tiket Jelajah Multi Trip masih dapat proses perizinan dari Bank Indonesia.

Adapun harga kartu Jelajah Single Trip sebesar Rp 15.000 dan akan dikembalikan setelah penggunaan maksimal tujuh hari dan dalam kondisi masih dapat dipergunakan kembali. Harga tiket Jelajah Multi Trip nantinya sebesar Rp 25.000 dan dapat digunakan selama saldo masih mencukupi. Namun Anda harus mengantre untuk membeli kartu jelajah di loket atau mesin tiket otomatis pada jam-jam sibuk.

Tips dari kami, siapkan uang elektronik agar Anda tak perlu mengantre dan dapat langsung masuk melalui tapping gate.

Pahami etika

Ada beragam etika yang harus Anda pahami saat berada di stasiun atau di dalam kereta MRT. Jika Anda melanggar, jangan salahkan jika petugas atau penumpang lain menegur Anda. Tentunya hal ini akan membuat perjalanan Anda menjadi tak nyaman.

Pertama, jangan berlari atau bermain di dalam stasiun maupun di dalam kereta. Hal ini merupakan salah satu aturan yang diterapkan oleh pengelola MRT.

Selain membahayakan bagi Anda, tindakan ini juga berpotensi mengganggu kenyamanan penumpang lain. Kemudian Anda harus memahami etika penggunaan eskalator dan lift. Berdirilah di sisi kiri lift jika Anda hanya ingin berdiri, karena sisi kanan dikhususkan untuk penumpang yang hendak berjalan terus atau terburu-buru.

Anda juga tak dapat sembarangan menggunaan lift

Lift diprioritaskan bagi penumpang disabilitas, ibu hamil, lansia, hingga penumpang yang membawa anak atau barang berat. Demi kenyamanan bersama, mengantre Anda juga harus memperhatikan petunjuk. Jangan sampai Anda berdiri di depan akses masuk kereta karena akan mengganggu penumpang yang akan turun. Hal yang tak kalah penting, di stasiun MRT tak disediakan tempat sampah. Jadi sediakan tempat khusus di tas atau saku Anda untuk menyimpan sampah selama perjalanan.

Posisi yang pas di dalam kereta

Perlu diingat, gerbong ketiga dan keempat diprioritaskan untuk disabilitas. Jadi pilihlah gerbong yang sesuai dengan kebutuhann Anda. Di dalam kereta pun diterapkan berbagai aturan seperti bangku prioritas, hingga larangan berdiri di depan pintu. Sebenarnya aturan ini dibuat untuk kenyamanan semua penump Jika Anda memaksa berdiri di depan pintu walaupun masih ada ruang di tengah gerong, jangan salahkan jika Anda akan terdesak oleh penumpang lain yang hendak masuk ke dalam kereta. Larangan makan dan minum di dalam kereta juga perlu diperhatikan agar Anda tak kena teguran petugas.

Jangan ragu bertanya pada petugas

Petugas berjaga di stasiun dan di dalam gerbong. Jangan ragu bertanya jika Anda membutuhkan informasi seputar perjalanan MRT. Tak hanya itu, petugas juga akan membantu Anda jika mengalami kendala. Misalkan jika ada barang yang terjatuh di rel, Anda cukup melapor kepada petugas sehingga keselamatan Anda tetap terjaga. Anda juga dapat melapor jika menemukan benda-benda mencurigakan di sekitar stasiun, terpisah dari rombongan, hingga menjadi korban tindak kriminal.

Sumber: https://travel.kompas.com/read/2019/04/03/200500827/5-tips-nyaman-naik-mrt-jakarta?page=2

Categories
Intermezzo

Mengenal Uniknya Rumah Adat Using di Desa Kemiren Banyuwangi

BANYUWANGI, KOMPAS.com – Suku Using memiliki rumah adat khas yang tersebar di beberapa desa di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Salah satunya di Desa Kemiren. Di desa adat tersebut, masih banyak dijumpai beberapa rumah adat Using kuno yang ditempati hingga saat ini. Salah satu kekhasan dari rumah adat Using dapat dilihat dari atap rumah. Menurut Arif Wibowo, arsitek asal Banyuwangi yang juga pendiri Arsitek Muda Banyuwangi kepada Kompas.com, Sabtu (16/2/2019) menjelaskan rumah adat Using memiliki tiga bentuk atap yaitu Tikel Balung, Baresan dan Cerocogan.

Bentuk Tikel Balung merupakan bentuk dasar rumah adat Using yang terdiri dari empat rab (bidang) atap. Satu unit Tikel Balung biasanya dimiliki setiap keluarga yang menaungi aktivitas penghuninya.

Pembentukan ruang-ruang di dalamnya didasarkan pada jumlah orang yang menghuninya. Sementara bentuk Baresan adalah bentuk yang lebih sederhana dari Tikel Balung dengan menghilangkan satu rab di belakanganya sehingga terdiri dari riga rab (bidang).

Menurut Arif, Baresan tidak bisa dikatakan sebagai unit rumah sendiri karena muncul sebagai respon penambahan ruang karena satu unit Tikel Balung tidak cukup menampung kebutuhan ruang karena penambahan fungsi ruang dan anggota keluarga. “Jadi jika kurang luas, maka bagian belakang akan ditambahi Baresan. Sangat jarang ditemukan tipe Baresan yang berdiri sendiri,” jelas Arif.

Sementara bentuk atap Cerocogan adalah bentuk atap yang paling sederhana dari tipe arsitektur Using dan jarang digunakan sebagai fungsi utama sebuah rumah hunian. Baca juga: Mengembara dalam Hidangan Using Karena bentuknya yang sederhana terdiri dari dua rab (bidang), bentuk Cerocogan digunakan untuk menaungi pawon (dapur) yang biasanya terdapat di bagian belakang rumah. “Strata sosial masyarakat Using bisa dilihat dari bentuk atapnya, jika jumlahnya lengkap terdiri dari Tikel Balung, Baresan dan Cerocogan atau lebih banyak maka bisa dipastikan jika dia orang kaya dan terpandang di wilayahnya,” kata Arif. Baca juga: Leluhur Menari di Tanah Using Ia juga mengatakan, Desa Kemiren adalah salah satu desa yang masih dengan mudah ditemukan rumah adat Using yang berfungsi sebagai rumah tinggal.

Dia juga menjelaskan bagian-bagian struktur rumah adat Using antara lain Sangga Tepas, Gelandar, Saka, Ubag, Ampig-ampig, Jait Cendhek, Doplak, Suwunan, Ander, Penglari, Jait Dhawa, Reng dan Dur. Sementara untuk dinding samping dan belakang rumah, masyarakat Using memilih menggunakan bambu yang disebut ghedeg pipil dan untuk bagian depan menggunakan Gebyog yang terbuat dari kayu. Selain itu, keunikan rumah adat Using adalah konstruksi bangunan yang dapat dibongkar pasang menggunakan sistem tanding tanpa paku tapi menggunakan sasak pipih yang bernama paju.

“Saat anak menikah, biasanya orang tua akan membangunkan rumah tikel balung baik lama atau pun baru karena rumah Using ini kan bisa bongkar pasang dan tanpa menggunakan paku sehingga mudah untuk dipindahkan,” kata Arif. Untuk bagian dalam rumah adat Using dibagi dalam beberapa bagian yaitu amper atau bagian depan rumah, bale yang merupakan ruang tamu atau ruang kegiatan adat, njerumah atau njero omah yang berarti bagian dalam rumah tempat aktivitas pribadi pemilik rumah dan pawon atau dapur serta ampok yang berada di kanan dan kiri rumah. Untuk menuju ke dapur, biasanya tamu akan melewati samping rumah, dan masuk melalui pintu dapur sehingga tidak perlu melewati bagian njerumah.

Rata-rata kayu yang digunakan untuk membangun rumah Using berasal dari Pohon Bendo yang zaman dulu cukup mudah ditemukan. Tentunya, pohon yang dipilih adalah pohon Bendo yang cukup tua sehingga rumah yang didirikan lebih awet. Sementara itu Buang (55), warga Kemiren mengaku jika rumah yang dia tempati saat ini adalah warisan dan kakeknya. Rumah yang berada tepat di pinggir jalan Desa Kemiren tersebut memiliki lima atap yang terdiri dari Tikel Balung dan Baresan, sementara Cerocogan untuk bagian belakang. Tikel Balung bagian depan berukuran 10 meter dan ukurannya sama dengan ruang bagian belakang yang digunakan njerumah dan pawon. “Cerocogan dulu buat dapur tapi sekarang di taruh di belakang buat gudang soalnya aktivitas banyak di dapur juga karena banyak tamu yang datang kesini sehingga butuh tempat yang lebih luas,” kata Buang.

Selain rumah Using, Buang mengaku juga membangun rumah yang lebih modern atau yang dia sebut rumah gedong. Rumah gedong tersebut dibangun mengikuti keinginan anak dan cucunya yang menginginkan rumah modern. “Jadi tinggal di sini ya di sana di rumah gedong. Tapi kalau saya banyakan disini,” katanya. Rumah adat Using juga masih dilihat di wilayah Sukosari Desa Kemiren Banyuwangi. Untuk menuju ke Sukosari, kita harus berjalan kaki karena tempatnya agak jauh dari jalan utama desa. Terdapat 10 rumah Using yang tertata rapi selaras dengan alam yang masih asri. Gebyok rumah juga diseragamkan yaitu dengan bahan kayu berwarna coklat. “Sudah hampir setengan tahun seperti ini. Bagian depan rumah, gebyoknya diganti sama pihak desa,” kata Mbok Wang saat ditemui Kompas.com di rumahnya.

Menurutnya, gebyok lama miliknya digunakan untuk membangun ruangan belakang rumah. Mbok Wang juga menjelaskan, ada beberapa wisatawan yang datang ke wilayahnya untuk berjalan-jalan. “Jumlahnya tidak banyak hanya beberapa, kadang mereka juga mampir untuk ngopi. Rumah kami terbuka untuk siapa pun yang datang kesini,” katanya. Seiring dengan majunya industri wisata di Banyuwangi, Arif Wibowo mengakui rumah adat Using menjadi tren di masyarakat Banyuwangi baik untuk rumah huni, penginapan, kedai atau rumah makan. Hal tersebut tentunya membawa angin segar bagi dunia arsitektur di Kabupaten Banyuwangi sebagai salah satu upaya pelestarian.

Namun, Arif juga tidak menampik jika banyak rumah-rumah Using di pedesaan yang kuno dibongkar lalu dijual dan pemilik rumah menggantinya dengan membangun rumah modern. “Tapi yang terpenting adalah bagaimana rumah Using tetap digunakan masyarakat sebagai hunian bukan hanya sekadar mengikuti tren. Dan tentunya bangunan yang didirikan harus disesuaikan dengan budaya, tradisi dan iklim masyarakat di sekitar,” pungkasnya.

sumber: https://travel.kompas.com/read/2019/02/18/072300327/mengenal-uniknya-rumah-adat-using-di-desa-kemiren-banyuwangi?page=2