Percakapan Paling Panjang: Memaknai Kesepian
Detail
Percakapan Paling Panjang: Memaknai Kesepian
2020 telah menciptakan jarak yang tak pernah terpikir sebelumnya dalam kehidupan saat ini. Kita semua didorong masuk ke kediaman masing-masing, mengubah tatanan yang selama ini mengatur setiap bagian hidup, dan tiap kita jatuh dalam kesepian masing-masing. Tiap kita juga belajar memaknai kesepian dengan cara masing-masing.
Dalam ruang diskusi ini, Aan Mansyur, Theoresia Rumthe, dan Weslly Johannes akan menjabarkan bagaimana mereka memaknai kesepian sebagai cara bertahan hidup, sebagai semangat berkarya, sebagai ruang menemukan diri sendiri, dan sebagai kesempatan untuk menciptakan bentuk-bentuk kerja sama yang memanusiakan kembali manusia.
Tentang Pembicara
M. AAN MANSYUR lahir di Bone, Sulawesi Selatan. Dia bekerja sebagai pustakawan di Katakerja, sebuah ruang sosial dan ruang kreatif, di Makassar. Buku-bukunya yang sudah terbit antara lain Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Kukila (2012), Melihat Api Bekerja (2015), Tidak Ada New York Hari Ini (2016), Cinta yang Marah (2017), dan Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau (2020).
THEORESIA LARATWATY RUMTHE menerbitkan kumpulan puisi Rona Kata bersama teman-teman perempuannya di Bandung pada 2010. Ia juga menulis cerita pendek di buku Perkara Mengirim Senja (persembahan kepada Seno Gumira Ajidarma) pada 2012. Dengan enam teman lainnya, Theo menerbitkan lagi cerpen-cerpennya dalam buku Menuju(h) (Gagas Media, 2012). Buku kumpulan puisinya, Tempat Paling Liar di Muka Bumi (Gramedia Pustaka Utama, 2016) ditulis bersama Weslly Johannes dan sudah dicetak ulang. Pada akhir 2017, dua puisinya dimuat dalam buku Akulah Damai yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bersama penyair-penyair lain dari seluruh Indonesia. Bersama Weslly Johannes, Theo kembali menulis buku puisi kedua mereka, Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai (Gramedia Pustaka Utama, 2018), sebelum melahirkan buku puisi solonya berjudul Selamat Datang Bulan (Gramedia Pustaka Utama, 2019).
WESLLY JOHANNES percaya bahwa kata itu bunyi, kata itu peristiwa, dan kata adalah perbuatan. Ketika remaja ia pernah menemukan sebuah kutipan yang tertulis dalam buku harian bapaknya, “Tulislah yang tidak baik di tepi pantai, tempat ombak memukul.” Sejak saat itulah kecintaannya pada kalimat-kalimat bagus tak dapat dibendung lagi. Puisinya pernah diterbitkan dalam buku Biarkan Katong Bakalai, antologi puisi penyair Maluku pada 2013. Satu cerita pendeknya mengenai pengalaman menghadapi konflik kemanusiaan di Maluku diterbitkan di buku Carita Orang Basudara oleh Yayasan Paramadina. Buku itu telah diterbitkan ulang dalam versi bahasa Inggris oleh Monash University. Bersama Theoresia Rumthe, ia menerbitkan dua buku puisi, Tempat Paling Liar di Muka Bumi (Gramedia Pustaka Utama, 2016) dan Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai (Gramedia Pustaka Utama, 2018). Buku puisi Bahaya-Bahaya yang Indah merupakan debut tunggalnya pada 2019.
2020 telah menciptakan jarak yang tak pernah terpikir sebelumnya dalam kehidupan saat ini. Kita semua didorong masuk ke kediaman masing-masing, mengubah tatanan yang selama ini mengatur setiap bagian hidup, dan tiap kita jatuh dalam kesepian masing-masing. Tiap kita juga belajar memaknai kesepian dengan cara masing-masing.
Dalam ruang diskusi ini, Aan Mansyur, Theoresia Rumthe, dan Weslly Johannes akan menjabarkan bagaimana mereka memaknai kesepian sebagai cara bertahan hidup, sebagai semangat berkarya, sebagai ruang menemukan diri sendiri, dan sebagai kesempatan untuk menciptakan bentuk-bentuk kerja sama yang memanusiakan kembali manusia.
Tentang Pembicara
M. AAN MANSYUR lahir di Bone, Sulawesi Selatan. Dia bekerja sebagai pustakawan di Katakerja, sebuah ruang sosial dan ruang kreatif, di Makassar. Buku-bukunya yang sudah terbit antara lain Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Kukila (2012), Melihat Api Bekerja (2015), Tidak Ada New York Hari Ini (2016), Cinta yang Marah (2017), dan Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau (2020).
THEORESIA LARATWATY RUMTHE menerbitkan kumpulan puisi Rona Kata bersama teman-teman perempuannya di Bandung pada 2010. Ia juga menulis cerita pendek di buku Perkara Mengirim Senja (persembahan kepada Seno Gumira Ajidarma) pada 2012. Dengan enam teman lainnya, Theo menerbitkan lagi cerpen-cerpennya dalam buku Menuju(h) (Gagas Media, 2012). Buku kumpulan puisinya, Tempat Paling Liar di Muka Bumi (Gramedia Pustaka Utama, 2016) ditulis bersama Weslly Johannes dan sudah dicetak ulang. Pada akhir 2017, dua puisinya dimuat dalam buku Akulah Damai yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bersama penyair-penyair lain dari seluruh Indonesia. Bersama Weslly Johannes, Theo kembali menulis buku puisi kedua mereka, Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai (Gramedia Pustaka Utama, 2018), sebelum melahirkan buku puisi solonya berjudul Selamat Datang Bulan (Gramedia Pustaka Utama, 2019).
WESLLY JOHANNES percaya bahwa kata itu bunyi, kata itu peristiwa, dan kata adalah perbuatan. Ketika remaja ia pernah menemukan sebuah kutipan yang tertulis dalam buku harian bapaknya, “Tulislah yang tidak baik di tepi pantai, tempat ombak memukul.” Sejak saat itulah kecintaannya pada kalimat-kalimat bagus tak dapat dibendung lagi. Puisinya pernah diterbitkan dalam buku Biarkan Katong Bakalai, antologi puisi penyair Maluku pada 2013. Satu cerita pendeknya mengenai pengalaman menghadapi konflik kemanusiaan di Maluku diterbitkan di buku Carita Orang Basudara oleh Yayasan Paramadina. Buku itu telah diterbitkan ulang dalam versi bahasa Inggris oleh Monash University. Bersama Theoresia Rumthe, ia menerbitkan dua buku puisi, Tempat Paling Liar di Muka Bumi (Gramedia Pustaka Utama, 2016) dan Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai (Gramedia Pustaka Utama, 2018). Buku puisi Bahaya-Bahaya yang Indah merupakan debut tunggalnya pada 2019.
Syarat & Ketentuan
Info lebih lanjut, Hubungi
081586250300